Senin, 07 Januari 2013

Kisah wali songo Bag 1

           Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu.
Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak
bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang
wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Tauba
21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim:
”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat.
Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati
syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”
            Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupa
kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut
sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan
G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama
dipandang sebagai wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of
Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim,
menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar
tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein,
jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”.
Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan.
Kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali
yang bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga
diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo
seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata
angin.
        Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama
di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat
laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka
ulama besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu
dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai
”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam
pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh
Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku
alias Sunan Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim
alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden
Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam
bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh
Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas
Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai
anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak
termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti
Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing
kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang
dan menggoyahkan syariat Islam.
          Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah
sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini
diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan,
sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian
anggota. Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad
Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana
Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik
Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan
Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan
Syekh Subakir yang pulang ke Persia.
           Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua
tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan
Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah,
yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel,
yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel
masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga,
dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang
merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan
Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam
buku ini –Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun
babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang
mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam
kurun waktu yang bersamaan.
           Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak
dan Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan
keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak,
Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung
Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan
Wali Songo”. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya
terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan
Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan
Majagung.
Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama
Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad
Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama
Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan
Sunan Drajat.
            Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak
selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan,
dan secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan
penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan
Raja Demak surut.




.............Bersambung............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini

Tulis e-mail anda di sini