Senin, 07 Januari 2013

Kisah wali songo Bag 2


        Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap
sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan
Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng
Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad,
Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang
disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan
kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam
buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari
ketenangan batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri
Belanda, itu menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di
Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25
tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada
1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu
berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh
Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram
memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur
tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De
Graaf, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis
pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti
sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya
inti kebenaran,” tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.
          Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid
lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah
dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi
setelah menyadap nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro
berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan
kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon
muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan
murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan
menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan
semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang,
tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya
berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan
Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten
arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik
–anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari
menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue
apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan
zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat
Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara
”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya
mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai
salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir,
Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong”
itu.Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda
keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang
mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam
mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga
abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana
Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan
yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini.
Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa
Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku
dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama
Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak
lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad
Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.

          Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura,
Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran
tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
 Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung
Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri
kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan
kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada
peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu
dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar
wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah:
menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi
wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat
menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
           Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai
ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata
cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah
sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan
Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam
Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
           Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri,
pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri
memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja
Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi,
pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam.
Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
 Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di
daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit.
Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak
berhasil mengobatinya.
          Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila
laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi.
Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah
keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya,
Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan
keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak
pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang
muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar
rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya
untuk membunuh Maulana Ishak.
 Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke
Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang
mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu
lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan
membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju
Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak
itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya.
Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar
agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemuiSyekh Maulana Ishak.Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak
membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di
sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih
membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri
wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan
Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.


..............Tamat ..............






Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Mau punya buku tamu seperti ini?
Klik di sini

Tulis e-mail anda di sini