Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwaafaqaat mengatakan : "Sudah
menjadi kesepakatan bahwa kitab yang mulia ini adalah syari'at yang sempurna,
sendi agama, sumber hikmah, bukti kerasulan, cahaya penglihatan dan hujjah.
Tiada jalan menuju Allah selainnya, tiada keselamatan kecuali dengannya dan
tidak ada yang dapat dijadikan pegangan sesuatu yang menyelisihinya. Kalau
demikian halnya, mau tidak mau bagi siapa yang hendak mengetahui keuniversalan
syariat, berkeinginan mengenal tujuan-tujuannya serta mengikuti jejak para
ahlinya harus menjadikannya sebagai kawan bercakap dan teman duduknya sepanjang
siang dan malam dalam teori dan praktek; maka dekat waktunya ia mencapai tujuan
dan menggapai cita-cita serta mendapati dirinya termasuk orang-orang pendahulu,
dan dalam rombongan pertama jika ia mampu. Dan tidaklah mampu atas hal itu
kecuali orang yang senantiasa menggunakan apa yang dapat membantunya, yaitu
sunnah yang menjelaskan kitab ini. Selainnya, adalah ucapan para imam terkemuka
dan salaf pendahulu yang dapat membimbingnya dalam tujuan yang mulia ini." (
Lihat AI Muwafaqaat, oleh Asy-Syathibi, 31224.)
Pembaca dan pendengar Al-Qur'an yang hatinya disibukkan dengan
lagu dan sejenisnya -yang dapat mengakibatkan perubahan firman Allah, padahal
kita diperintahkan untuk memperhatikannya sebenamya menghalangi hatinya dari apa
yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya, memutuskannya dari pemahaman firman-Nya.
Mahasuci firman Allah dari hal itu semua. Imam Ahmad melarang talhin dalam
membaca Al-Qur'an, yaitu yang menyerupai lagu, beliau berkata : "Itu bid'ah.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Fadhaa 'ilul Qur'an mengatakan:
"Sasaran yang diminta menurut syara' tiada lain yaitu memperindah suara yang
dapat mendorong untuk merenungkan dan memahami Al-Qur'an yang mulia dengan
khusyu', tunduk, dan patuh penuh ketaatan. Adapun suara-suara dengan lagu yang
diada-adakan yang terdiri atas nada dan irama yang melalaikan, serta aturan
musikal, maka Al-Qur'an adalah suci; dari hal ini dan tak layak jika dalam
membacanya diperlakukan demikian." (Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu
Katsir, him. 125-126.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Irama-irama yang
dilarang para ulama untuk membaca Al-Qur'an yaitu yang dapat memendekkan huruf
yang panjang, memanjangkan yang pendek, menghidupkan huruf yang mati dan
mematikan yang hidup. Mereka lakukan hal itu supaya sesuai dengan irama
lagu-lagu yang merdu. Jika hal itu dapat mengubah aturan Al-Qur'an dan
menjadikan harakat sebagai huruf, maka haram hukumnya. (Lihat Haasyiatu
Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, him. 107.)
Disunatkan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap minggu, dengan setiap
hari' membaca sepertujuh dari Al-Qur'an dengan melihat mushaf, karena melihat
mushaf merupakan ibadah. Juga mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada
waktu-waktu yang mulia dan di tempat-tempat yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua
Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul Hijjah karena memanfaatkan waktu dan tempat.
Jika membaca Al-Qur'an khatam dalam setiap tiga hari pun baik, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdullah bin Amr :
"Bacalah Al-Qur'an itu dalam setiap tiga hari "( Lihat kitab
Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu Muqaddimatit
Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)
Dan makruh menunda khatam Al-Qur'an lebih dari empat puluh
hari, bila hal tersebut dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata :
"Betapa berat beban Al-Qur'an itu bagi orang yang menghafalnya kemudian
melupakannya."
Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh
mushaf, dasarnya firman Allah Ta 'ala :
"Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.
"(Al-Waqi'ah: 79).
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam :
"Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur'an ini kecuali orang yang
suci. " (HR. Malik dalam Al-Muwaththa,Ad-Daruquthni dan lainnya)" (Hai ini
diperkuat hadits Hakim bin Hizam yang lafazhnya: "Jangan menyentuh Al-qur'an
kecuali jika kamu suci." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim dengan menyatakannya
shahih).
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu
Abbas raldhiallahu 'anhuma, ia berkata :
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling
dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui
Jibril untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an. Jibril menemui beliau setiap malam
pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya Al-Qur'an. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada
angin yang berhembus.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan tambahan:
"Dan beliau tidak pernah dimintai sesuatu kecuali
memberikannya. "
Dan menurut riwayat Al-Baihaqi, dari Aisyah radhiallahu 'anha
:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika masuk bulan
Ramadhan membebaskan setiap tawanan dan memberi setiap orang yang meminta. "
Kedermawanan adalah sifat murah hati dan banyak memberi. Allah
pun bersifat Maha Pemurah, Allah Ta'ala Maha Pemurah, kedermawanan-Nya berlipat
ganda pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan.
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah manusia yang
paling dermawan, juga paling mulia, paling berani dan amat sempurna dalam segala
sifat yang terpuji; kedermawanan beliau pada bulan Ramadhan berlipat ganda
dibanding bulan-bulan lainnya, sebagaimana kemurahan Tuhannya berlipat ganda
pada bulan ini.
Berbagai pelajaran yang dapat diambil dari berlipatgandanya
kedermawanan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan :
Bahwa kesempatan ini amat berharga dan melipatgandakan amal
kebaikan.
Membantu orang-orang yang berpuasa dan berdzikir untuk
senantiasa taat, agar memperoleh pahala seperti pahala mereka; sebagaimana siapa
yang membekali orang yang berperang maka ia memperoleh seperti pahala orang yang
berperang, dan siapa yang menanggung dengan balk keluarga orang yang berperang
maka ia memperoleh pula seperti pahala orang yang berperang. Dinyatakan dalam
hadits Zaid bin Khalid dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau
bersabda:
"Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa maka
baginya seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikitpun dari
pahalanya. " (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Bulan Ramadhan adalah saat Allah berderma kepada para hamba-Nya
dengan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api Neraka, terutama pada Lailatul
Qadar Allah Ta 'ala melimpahkan kasih-Nya kepada para hamba-Nya yang bersifat
kasih, maka barangsiapa berderma kepada para hamba Allah niscaya Allah Maha
Pemurah kepadanya dengan anugerah dan kebaikan. Balasan itu adalah sejenis
dengan amal perbuatan.
Puasa dan sedekah bila dikerjakan bersama-sama termasuk sebab
masuk Surga. Dinyatakan dalam hadits Ali radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh di Surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luamya
dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. " Maka
berdirilah kepada beliau seorang Arab Badui seraya berkata: Untuk siapakah
ruangan-ruangan itu wahai Rasulullah? jawab beliau: "Untuk siapa saja yang
berkata baik, memberi makan, selalu berpuasa dan shalat malam ketika orang-orang
dalam keadaan tidur. " (HR. At-Tirmidzi dan Abu Isa berkata, hadits ini
gharib)
Semua kriteria ini terdapat dalam bulan Ramadhan. Terkumpul
bagi orang mukmin dalam bulan ini; puasa, shalat malam, sedekah dan perkataan
baik. Karena pada waktu ini orang yang berpuasa dilarang dari perkataan kotor
dan perbuatan keji. Sedangkan shalat, puasa dan sedekah dapat menghantarkan
pelakunya kepada Allah Ta 'ala.
Puasa dan sedekah bila dikerjakan bersama-sama lebih dapat
menghapuskan dosa-dosa dan menjauhkan dari api Neraka Jahannam, terutama jika
ditambah lagi shalat malam. Dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Puasa itu merupakan perisai bagi seseorang dari api Neraka,
sebagaimana perisai dalam peperangan " ( Hadits riwayat Ahmad, An-Nasa'i dan
Ibnu Majah dari Ustman bin Abil-'Ash; juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah
dalam Shahihnya serta dinyatakan shahih oleh Hakim dan disetujui Adz-Dzahabi.)
Hadits riwayat Ahmad dengan isnad hasan dan Al-Baihaqi.
Diriwayatkan pula oleh Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Puasa itu perisai dan benteng kokoh yang melindungi seseorang)
dari api Neraka"
Dan dalam hadits Mu'adz radhiallahu 'anhu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sedekah dan shalat seseorang di tengah malam dapat
menghapuskan dosa sebagaimana air memadamkan api" (Hadist riwayat At-Tirmidzi
dan katrrnya. "Hadits hasan shnhih. "
Dalam puasa, tentu terdapat kekeliruan serta kekurangan. Dan
puasa dapat menghapuskan dosa-dosa dengan syarat menjaga diri dari apa yang
mesti dijaga. Padahal kebanyakan puasa yang dilakukan kebanyakan orang tidak
terpenuhi dalam puasanya itu penjagaan yang semestinya. Dan dengan sedekah
kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dapat terlengkapi. Karena itu pada akhir
Ramadhan, diwajibkan membayar zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa
dari perkataan kotor dan perbuatan keji.
Orang yang berpuasa meninggalkan makan dan minumnya. Jika ia
dapat membantu orang lain yang berpuasa agar kuat dengan makan dan minum maka
kedudukannya sama dengan orang yang meninggalkan syahwatnya karena Allah,
memberikan dan membantukannya kepada orang lain. Untuk itu disyari'atkan baginya
memberi hidangan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa bersamanya, karena
makanan ketika itu sangat disukainya, maka hendaknya ia membantu orang lain
dengan makanan tersebut, agar ia termasuk orang yang memberi makanan yang
disukai dan karenanya menjadi orang yang bersyukur kepada Allah atas nikmat
makanan dan minuman yang dianugerahkan kepadanya, di mana sebelumnya ia tidak
mendapatkan anugerah tersebut. Sungguh nikmat ini hanyalah dapat diketahui
nilainya ketika tidak didapatkan. (Lihat kitab Larhaa'iful Ma'arif, oleh Ibnu
Rajab, hlm. 172-178.)
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya (kepada kita semua).
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi kita
Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar